Advertising by :

Advertisement

Sunday, February 15, 2009

Dua Sisi Dunia

Language: Indonesia

Author: SheilaLuv

Summary: Kefanaan, sesuatu yang berdiri di sisi terdalam dari dunia seni milik Deidara. Prinsip itu harus dikonfrontasi oleh perspektif keabadian seni yang dianut oleh Sasori. Dua hal yang bertolak belakang, namun sebenarnya saling mengisi dalam lingkaran waktu yang tidak terputus. Tapi, ketika mereka menyadarinya, semua sudah terlambat…

Pairing: Sasori/Deidara. Dua jiwa seniman yang bersinar dalam spektrum warna mereka masing-masing.

Disclaimer: Naruto is a property of Masashi Kishimoto. Saya cuma meminjam karakter-karakter kreasinya dan menggerakkan mereka dengan seutas benang yang tak tampak.

Dan yang terpenting, Sasori dan Deidara tetap saling memiliki, bahkan dalam kematian –dodges rotten tomatoes-. This fiction is dedicated for my dear senpai, GoodBoyTobi (Rin-chan) for introducing me to this wonderful pair! Rin-chan, semoga fic ini bisa menghibur kamu yang sedang berjuang buat ujian masuk universitas, ya! Untuk semua pembaca fic ini, jangan ragu memberi komentar, kritik dan saran lewat review ya. Saya terima dengan senang hati. XD

Enjoy!


Segala sesuatu terus mengalir.”

-Heraclitus- (Filosof Alam, 540-480 SM dari Ephesus, Asia Kecil)

Dikutip dari Sophie’s World, halaman 50, oleh Jostein Gaarder



Chapter 1

Pertautan Filosofi

-

Kefanaan terus membayangi esensi terdalam jiwa

Tertuang di setiap curahan makna kata-kata

Mengisi setiap celah hidup dengan nyala sinarnya

Keabadian tak pernah datang mengecup pelupuk mata

Hanya menguap pergi tanpa merengkuh diriku ke dalamnya

Terus diam tanpa suara, terus jauh mengembara…

-Deidara no Shi- (Syair Deidara)

-

Menurut orang-orang yang berada di zaman sebelum dirinya terlahir, dunia itu diatur oleh sebuah tangan yang tidak terlihat bernama takdir. Manusia hanya bisa pasrah ketika benang-benang tidak terlihat menggerakkan sekujur tubuh mereka bersama waktu yang terus berputar, sehingga tidak ada seorang pun yang bisa berkelit, satu mili pun—dari apa yang sudah digariskan oleh tangan Tuhan di dunia.

Karena itu, tidak ada yang namanya kebetulan. Kehidupan, kematian, perjumpaan sampai perpisahan, masing-masing mempunyai maknanya sendiri yang tidak semua bisa terungkap secara gamblang. Apalah arti semua usaha untuk meramal dan memprediksi kehidupan yang tidak pernah berjalan mundur? Hanya melangkahi kemuliaan Tuhan yang sudah menyusun keping-keping mozaik bagi langkah kaki makhluk-Nya.

Dalam rantai kehidupan, bahkan persamaan dan perbedaan pun terikat sempurna. Keduanya saling mengisi, berseberangan namun sama-sama menawarkan kemungkinan yang tidak terbatas. Tidak hanya persamaan yang mengikat dua jiwa yang terpisah, perbedaan pun terbukti dapat menghipnotis setiap elemen dunia—karena tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa dilengkapi oleh komplemennya. Itulah hukum alam—mereka menyebutnya.

Mungkin, tanpa disadari, hal itu berlaku juga untuk Sasori dan Deidara.

“Sasori no Danna! Ayo, istirahat sebentar, un!” pinta Deidara, melepas topi jeraminya dan menempatkan dirinya untuk berteduh di bawah bayang-bayang pepohonan yang tumbuh rimbun di tepi sungai. Senja sudah mulai memancarkan bias keemasannya. Ledakan warna-warni pelangi yang menggantung indah di garis horizon langit menyala terang, berpadu aroma rumput basah yang melegakan sehabis hujan gerimis.

Sasori menghela nafas. Melihat Deidara yang sudah berbaring nyaman berbantalkan rumput. Helaian rambut pirang panjangnya menyentuh permukaan kehijauan itu dengan satu desisan lembut. Napasnya naik turun perlahan, namun damai.

“Ada apa? Kau sudah merasa lelah lagi?” tanya Sasori, sedikit menggerutu. Meskipun begitu, dia ikut duduk di sebelah partnernya, bersandarkan pada batang pohon yang kokoh ditempa usia dan cuaca.

“Tidak, hanya karena ingin saja, un,” jawab Deidara sekenanya, matanya menutup. Dedaunan yang mulai menguning mewarnai ketenangan sore itu, selayaknya suasana musim gugur.

“Kita sudah harus kembali ke markas Akatsuki dua hari lagi, Deidara,” ucap Sasori. Kedua bola mata merah terangnya menatap langit, membiaskan kerlap-kerlip sinar aneka warna.

“Bisa diusahakan, un. Untuk sekarang, kita di sini saja, un. Pemandangan seperti ini jarang bisa kunikmati, un. Melihat segala sesuatu begitu cepat datang dan pergi selalu membuatku terinspirasi untuk menciptakan seni dalam bentuk yang baru, un,” kata Deidara, membuka mata. Bola mata kebiruannya bertemu mata Sasori yang sedang menatapnya.

“Kau tidak berubah,” balas Sasori, menyerap kata-kata juniornya. “Apa yang luar biasa dari pemandangan musim gugur seperti ini? Semuanya selalu kembali, terus berulang dalam siklus kehidupan. Di tahun-tahun yang berikutnya, musim gugur akan datang, disusul dinginnya musim salju, kemudian musim semi merekah dan musim panas terpancar kembali seiring matahari yang merajai langit.”

Deidara tertawa kecil. Kedua matanya bersinar penuh kemenangan. Dia beringsut bangkit dari posisinya dan duduk mengikuti Sasori.

“Nah, itu dia, Sasori no Danna. Pernahkah Danna berpikir tentang singkatnya hidup, un?” Satu tangannya mengacung ke langit. “Memang benar, siklus musim demi musim terus berulang, un. Namun, bukan berarti kita akan selalu ada untuk menyaksikannya, un? Hidup itu singkat dan tidak terduga, persis pancaran warna-warni indah yang meluap dari ledakan yang kuciptakan, un. Bisa saja, besok atau lusa, kita akan kembali ke esensi alam, bergabung dengan semua hal yang telah lebih dulu musnah, un. Tidak ada keabadian, hanya sesuatu yang selalu mengalir, un.”

“Lagi-lagi kau dan filosofi senimu,” Sasori berkata tidak sabar,”Bagiku, seni tetap sesuatu yang bisa meninggalkan jejaknya, keindahan abadi yang tidak habis digerus waktu. Hidup bukan sesuatu yang bisa kita prediksi, memang benar. Tapi, keindahan yang abadi pasti akan selalu kekal. Sebagaimana ada unsur yang memulai segala sesuatu, pasti manusia menemukan jejak-jejak unsur penciptaan yang paling awal dalam setiap elemen dunia pada setiap makhluk yang tercipta. Memang tidak selalu sama, tapi kita bisa melihat berkas-berkasnya. Itulah keabadian, selalu hadir dalam bermacam cara, walau tidak selalu eksis di dimensi ruang waktu yang sama.”

“Aku tahu, Sasori no Danna. Danna selalu berkata begitu padaku, tapi aku tidak pernah benar-benar mengerti, un,” Deidara tenggelam dalam pikirannya. “Mengingat hal ini begitu dihormati oleh Sasori no Danna, setidaknya aku ingin mengerti, walau sedikit saja, un.”

Sasori menoleh. Ekspresinya yang semula datar kini lebih tergurat jelas. “Kau ingin tahu? Padahal biasanya kau selalu menolak keras prinsipku itu.”

Deidara mengangguk. “Tidak apa, un. Seni dapat menyatukan perbedaan, un.”

Bibir Sasori tanpa dicegah mengguratkan senyum tipis. Pandangan matanya mengunci tatapan Deidara sehingga shinobi berambut pirang panjang itu tidak bisa menduga apa yang akan dilakukannya. “Sebenarnya, semuanya sederhana saja. Untuk merasakan dan meresapi arti keabadian, kau hanya perlu memahami setiap hal tidak hanya lewat indra, tapi juga lewat hati. Kemudian tanpa kau sadari, hatimu akan berbicara jauh lebih terang dari yang pernah kau rasakan. Menyuguhkan jawaban yang paling hakiki di balik semua kepalsuan.”

“Sasori no Danna pasti punya alasan dibalik semua perkataan ini, un. Boleh aku tahu hal apa yang mendasari hal itu, un?” tanya Deidara.

Sasori terdiam beberapa saat. Saat Deidara mengira dia tidak akan mencoba menjawab, kata-katanya perlahan meluncur. “Kenangan di masa lalu… ambisi di masa sekarang… dan ekspetasi untuk masa depan.”

“Aku akan mencoba, un,” putus Deidara. “Tapi, untuk itu aku perlu memulai segalanya dengan satu hal mendasar, un,” Deidara termangu, berpikir-pikir. Mencari satu hal yang bisa membantunya memahami keabadian, menuntunnya menuju satu kesimpulan: apakah keabadian benar-benar hadir dengan nyata di dunia, atau hanya ilusi yang diciptakan manusia semata.

Sasori mendengarkan sambil menikmati belaian lembut angin yang menyusuri setiap lekuk dan pori wajahnya. “Mula-mula, renungkan saja… hal-hal yang paling signifikan di dalam hidupmu. Cobalah untuk mencari tahu setiap elemen yang mendasari eksistensinya di dalam hidup. Kalau waktu bisa membuktikan keberadaanya yang terus melekat, tidak pernah pudar; maka kau sudah menemukan satu dari banyak bentuk keabadian di dunia.”

Kata-kata Sasori telah membius Deidara. Sejenak jarum detik waktu seolah berhenti berputar, menahan lajunya. Merelakan serpih-serpih perasaan yang tertimbun di lubuk hati mengambang ke permukaan. Detik berikutnya yang dia tahu, hanya kebenaran yang mengambil alih, mendobrak segala bentuk pengekangan diri yang dirantai kesombongan dan ketidakpedulian.

Tahu-tahu saja, kejujuran telah meneteskan kesejukannya di tengah semburat mentari sore yang hangat. “Kalau begitu, aku akan memulainya dari dua hal: seni yang kucintai,”dia berkata penuh kepastian,”dan… Sasori no Danna.”


Author’s note: Yay! Selesai juga part pertama dari fic ini. Suatu self-challenge yang terbit dari permintaan GoodBoyTobi, senpai di yang sangat menggilai pasangan seniman kita di fandom Naruto, Sasori dan Deidara. Walaupun awalnya saya nggak begitu klik dengan pair ini, tapi akhirnya ikut larut dalam relationship unik mereka yang nggak bisa didapatkan lagi setelah kematian keduanya di manga. Yah, saya akui kalau saya kecewa dengan tewasnya mereka berdua yang begitu cepat. Syair di atas saya tulis khusus untuk mendalami karakter Deidara.

Filosof alam Heraclitus yang kata-katanya saya jabarkan di pembukaan fic ini mengacu pada salah satu dari para filosof Yunani kuno yang mula-mula mencoba berfilsafat tentang keberadaan alam. Mereka mulai menyelidiki bahan dasar dan perubahan-perubahan yang terjadi di semesta dengan cara menaruh perhatian pada alam dan proses-prosesnya. Itulah sebabnya mereka disebut filosof alam. Mereka mencari hukum-hukum alam yang bekerja di dunia, tanpa harus bersandar pada mitos-mitos yang tidak berdasar, seperti yang dipegang teguh oleh orang-orang Yunani pada umumnya di masa itu.

Hal ini bisa Anda nikmati dengan jelas bila membaca novel filsafat berjudul Sophie’s World karangan Jostein Gaarder, yang saat ini saya gunakan sebagai refrensi untuk penulisan filosofi bagi Sasori dan Deidara di fic ini. Semoga penjelasan ini bisa membantu pembaca semua, ya.

Fic ini masih akan berlanjut di part kedua, yang akan saya tulis dari perspektif Sasori, baik tentang keabadian maupun seni. Rencanya sih bakal di-update secepat mungkin, jadi dukungan Anda semua sangat diharapkan. Kalau ada ada yang mengganjal, baik pertanyaan maupun kebingungan, kritik maupun saran, silahkan tulis di review. Saya dengan senang hati menjawab, ok?

Ja ne!

No comments: